Yang Hilang di Tengah Kota: Mencari Hunian di Antara Dua Kutub
- Steve JM
- Apr 25
- 1 min read
Di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, pilihan tempat tinggal terasa seperti dua kutub ekstrem. Di satu sisi, ada rumah tapak di pusat kota dengan harga tanah selangit—terjangkau hanya oleh segelintir orang. Di sisi lain, ada apartemen massal dengan ratusan unit, bangunan tinggi, dan lingkungan yang sering terasa anonim.

Tapi bagaimana dengan kita yang menginginkan sesuatu di tengah? Hunian yang masih strategis, jumlah penghuni tidak terlalu banyak, bangunan manusiawi, fasilitas cukup lengkap, dan—yang terpenting—terjangkau?
Sayangnya, pilihan seperti ini masih sangat langka. Daniel Parolek, seorang arsitek dan urbanis, menyebut kondisi ini dengan istilah “missing middle housing” di bukunya yang terbit tahun 2010 dengan judul yang sama, untuk menggambarkan absennya tipe hunian skala menengah—yang berada di antara rumah tapak dan apartemen tinggi—namun tetap mendukung kehidupan kota yang inklusif dan berkelanjutan.
Banyak dari kita punya mimpi tinggal di tempat seperti Pondok Indah. Siapa yang tidak? Lokasinya nyaman, lingkungannya tertata. Tapi dengan harga tanah seperti sekarang, mimpi itu terasa makin jauh. Maka yang kita butuhkan bukan sekadar harga murah—tapi cara baru untuk mewujudkan ruang tinggal.
Bayangkan jika delapan sampai sepuluh orang bergabung untuk membeli sebidang tanah dan membangun hunian bersama. Sebuah bangunan 3–4 lantai, berisi 10–12 unit, dengan ruang komersial kecil di lantai dasar untuk disewakan—bisa jadi sumber pendapatan tambahan komunitas. Dibanding beli sendiri-sendiri, patungannya tentu lebih ringan. Dan yang lebih penting: mimpi itu tidak lagi terasa mustahil.
Di Urban Kolektif, kita ingin menjadikan kemungkinan ini sebagai realitas. Karena pilihan di antara dua kutub harus ada. Dan kadang, jalan menuju hunian yang layak bukan dimulai dari uang besar—tapi dari gagasan kolektif yang berani dibangun bersama.



Comments