Ruang Bersama, Biaya Lebih Ringan: Kolektif Itu Bukan Hal Baru
- Steve JM
- Apr 18
- 1 min read
Di Indonesia, kita sudah terbiasa dengan gotong royong. Dari bangun rumah hingga bantu tetangga hajatan, prinsip “sama-sama” sudah jadi bagian dari keseharian. Tapi kenapa saat bicara soal hunian, kita seolah dipaksa berpikir individual?

Urban Kolektif mencoba menjembatani nilai-nilai yang sudah kita kenal—seperti gotong royong dan patungan—ke dalam sistem hunian kota. Kita menyebutnya: hunian kolektif. Tapi jangan bayangkan semuanya harus berbagi kamar mandi atau dapur setiap saat. Kolektif bisa berarti banyak bentuk, tergantung kesepakatan bersama.
Kita bisa punya unit pribadi yang mandiri, tapi tetap membangun sebagian ruang secara bersama—ruang-ruang yang tidak selalu kita gunakan setiap waktu, seperti ruang makan besar, taman, dapur kedua, atau ruang kerja. Dengan pendekatan ini, kita bisa menghemat luas bangunan, menekan biaya, dan mendapatkan kualitas ruang yang jauh lebih baik.
Misalnya begini: dalam satu unit rusun tipe 36, biasanya ada ruang makan 4m². Kalau empat keluarga tinggal berdekatan dan setuju untuk punya ruang makan bersama, kita bisa punya ruang 16m² yang jauh lebih nyaman, luas, dan fungsional. Ini efisien—baik secara ruang, biaya bangunan, hingga biaya operasional.
Selain lebih hemat, ruang bersama juga menciptakan peluang interaksi, saling kenal, dan saling jaga. Kita bisa tetap punya privasi, tapi juga punya ruang untuk kebersamaan. Karena sesungguhnya, tinggal di kota tidak harus selalu sendiri.
Kolektif bukan ide baru. Kita sudah punya nilainya sejak lama. Mungkin sekarang saatnya nilai itu diimplementasikan lagi—dengan bentuk yang lebih relevan untuk kota hari ini.
Comments