top of page

Inspirasi Ragam Hunian Kolektif

Kita terbiasa membayangkan rumah sebagai sesuatu yang dimiliki secara pribadi—dihuni oleh satu keluarga inti, dipagari, dan dikelola sendiri. Tapi kenyataannya, di berbagai belahan dunia (termasuk Indonesia), tinggal bersama dalam satu ruang atau lingkungan bukan hal baru. Bukan hanya karena keterbatasan, tapi karena nilai efisiensi, solidaritas, dan keberlanjutan yang terkandung di dalamnya.

Kini, ketika kota-kota menghadapi krisis hunian, keterasingan sosial, dan tekanan ekonomi, model tinggal kolektif kembali menarik perhatian. Tapi apa sebenarnya yang dimaksud dengan “hunian kolektif”? Apakah itu berarti tinggal satu atap ramai-ramai? Apakah harus milik bersama?



Tulisan ini mencoba menggali beragam bentuk tinggal kolektif—dari tradisi lokal hingga pendekatan modern—untuk memahami bagaimana masyarakat bisa hidup bersama, membangun bersama, dan mungkin juga memiliki bersama.


Memahami Spektrum Hunian Kolektif

Untuk memahami tinggal kolektif, kita perlu melihatnya dari dua sisi:

  1. Bagaimana orang tinggal (tingkat kebersamaan ruang dan relasi sosial)

  2. Bagaimana kepemilikan dan pengelolaannya (individu, kelompok, atau lembaga)

Dengan pendekatan ini, kita bisa mengenali berbagai bentuk hunian kolektif:


1. Hunian Kolektif Tradisional (Adat)

Contoh: Rumah Banjar, Rumah Bujang, Rumah GadangSebelum istilah "co-housing" populer, masyarakat adat Indonesia sudah mengenal hidup bersama lintas generasi, dalam satu atap besar. Kepemilikan biasanya berbasis keluarga besar atau struktur adat. Ruang dikelola bersama dengan prinsip musyawarah dan aturan adat.

Kelebihan: kontekstual dan terbukti fungsional secara sosialKekurangan: sulit diterapkan dalam tata kota modern dan hukum formal


2. Asrama atau Dormitori

Kamar pribadi sangat terbatas, dengan fasilitas (mandi, dapur, ruang duduk) digunakan bersama. Biasanya dimiliki oleh institusi (kampus, pesantren, perusahaan), bukan penghuninya.

Relasi antar penghuni: fungsionalKepemilikan: institusionalKeterlibatan dalam pengelolaan: minim


3. Cluster Perumahan Kecil

Kumpulan 4–10 rumah dengan satu akses jalan dan kadang pagar bersama. Umumnya memiliki kepemilikan pribadi, tapi bisa berkembang menjadi komunitas dengan ruang bersama (taman kecil, dapur, ruang kerja bersama).

Potensi kolektif: tergantung kesepakatan dan inisiatif wargaKelemahan: mudah terfragmentasi bila tidak ada struktur bersama


4. Apartemen dengan PPRS

Unit dimiliki perorangan, tapi ruang bersama (koridor, lift, taman) dikelola lewat Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Rumah Susun (PPRS). Di atas kertas kolektif, tapi dalam praktik sering tidak partisipatif.

Kelemahan: relasi sosial lemah, konflik antar pemilik tinggi, developer dominan


5. Co-Living Komersial

Konsep tinggal bersama yang dikelola profesional. Fasilitas dan kenyamanan modern, tapi kepemilikan dan arah pengelolaan sepenuhnya ada di tangan korporasi.

Kolektifnya dibentuk, bukan dibangun bersamaKepemilikan: investor atau operator, bukan penghuni


6. Co-Housing

Masyarakat yang merancang, membangun, dan mengelola tempat tinggal bersama. Tetap memiliki unit privat, tapi ada ruang bersama dan sistem pengambilan keputusan kolektif.

Kepemilikan bisa beragam: individu, koperasi, yayasan, trustFokus utamanya: relasi sosial, solidaritas, dan demokrasi partisipatif


Apa yang Bisa Kita Pelajari untuk Indonesia?

Kita punya kekuatan budaya: gotong royong, patungan, musyawarah. Tapi kita juga dihadapkan pada:

  • Regulasi tanah dan bangunan yang belum akomodatif

  • Belum adanya bentuk hukum kolektif yang dikenal luas

  • Minimnya fasilitator atau pengembang komunitas yang berpihak pada warga


Namun celah itu bisa dijawab. Urban Kolektif hadir untuk memperluas ruang belajar dan membuka kemungkinan baru: bahwa hunian bukan sekadar produk atau komoditas, tapi ruang hidup yang bisa dirancang, dibangun, dan dimiliki bersama.

Comments


bottom of page